Celah Aturan Dimanfaatkan untuk Loloskan Tambang
SOLO, KOMPAS —Meskipun bertentangan dengan fakta di lapangan dan kajian keilmuan, celah dalam aturan perundang-undangan sering kali dimanfaatkan sebagai peluang meloloskan perizinan pertambangan. Ini seperti yang terjadi dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst.
Ahli hukum lingkungan dari Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Jawa Tengah, Rakhmat Bowo Suharto, Rabu (13/11), mengungkapkan, dalam UU No 26/2007 terdapat ketentuan yang mengatur, rencana tata ruang dapat ditinjau kembali. Ketentuan ini memberi peluang dimanfaatkan untuk mengubah peruntukan tata ruang.
”Dalam proses peninjauan kembali ini dapat terjadi pergeseran, yang semula kawasan lindung diubah menjadi kawasan budidaya. Kepala daerah tidak berani melanggar aturan tata ruang karena sanksinya berat, yaitu pidana lima tahun dan denda Rp 500 juta. Akibatnya, jika ada kepentingan terkait tata ruang, ketentuan itu dimanfaatkan untuk mengubah tata ruang,” ujarnya.
Inilah yang terjadi di Kecamatan Giriwoyo dan Giritontro, Kabupaten Wonogiri, Jateng, yang bakal dijadikan lokasi pabrik semen dan eksplorasi batu kapur serta Alas Kethu di Kecamatan Wonogiri yang akan dijadikan kawasan industri.
Demikian pula Peraturan Menteri ESDM No 17/2012 yang mengatur tahapan penetapan bentang alam karst diawali penyelidikan kepala badan, gubernur, atau bupati/wali kota. Dengan demikian, jika suatu kawasan tidak dimasukkan dalam kawasan karst, kawasan itu dinyatakan bukan karst yang harus dilindungi sehingga aktivitas pertambangan boleh masuk.
Ahli biologi karst dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cahyo Rahmadi, menambahkan, para ahli yang menyurvei dan menyusun analisis mengenai dampak lingkungan rencana pertambangan perlu jujur terhadap fakta dan kajian keilmuan. Pemda juga perlu mempertimbangkan sisi positif dan negatif pembukaan tambang. Misalnya, potensi hilangnya sumber air yang menyulitkan masyarakat akibat aktivitas pertambangan.
Koordinator Warga Darmosito di Desa Tirtosworo, Giriwoyo, Edi Ariyanto menambahkan, sesuai hasil pendataan di Pegunungan Sewu, terdapat 53 mata air, sungai bawah tanah, di antaranya di Goa Karang Pulut, dan puluhan goa. Sesuai data Badan Lingkungan Hidup Jateng tahun 2008, di Giriwoyo dan Giritontro terdapat 49 ponor atau luweng yang menuju sungai bawah tanah.
Merusak
Di Kebumen, Jateng, penambangan batu kapur di kawasan karst Gombong selatan turut menyumbang kerusakan ekosistem. Kawasan itu pada 2004 ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kawasan ekokarst.
Berdasarkan data Dinas Sumber Daya Air Energi dan Sumber Daya Mineral Kebumen, setidaknya ada 130 usaha tambang batu kapur di tiga kecamatan yang masuk kawasan karst Gombong selatan. Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kebumen Masagus Herunoto mengatakan, penambangan liar sudah terjadi puluhan tahun dan merusak kelestarian ekosistem. (eki/gre) —

Tidak ada komentar:
Posting Komentar